Mengais minyak di negeri yang konon, Negeri Ini Berlimpah Sumber Daya Alam.
Sejak masih kecil, kita selalu diingatkan bahwa negeri
ini begitu kaya sumber daya alam, gemah ripah loh jinawi. Perut bumi Indonesia,
konon, menyimpan banyak sekali minyak bumi dan gas alam. Seperti Koes Plus
menyanyikan dalam lagunya Kolam Susu, “Orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman.”
Cadangan Migas Terus Turun. Faktanya, sekian puluh tahun
digali, dikeruk, dan disedot, sumber daya alam Indonesia sudah jauh berkurang.
Apakah Indonesia masih negara kaya sumber daya alam?
Sampai Desember 2015, cadangan minyak terbukti Indonesia
tinggal 3,6 miliar barel atau hanya 0,3 persen dari cadangan minyak dunia. Di
dunia, versi OPEC, cadangan minyak Indonesia ada di urutan ke-29.
Cadangan gas Indonesia hanya 100,3 triliun kaki kubik
atau cuma 1,6 persen cadangan gas dunia.
Sumur Makin Tua. Hingga mencapai puncaknya pada tahun
1995, sumur-sumur minyak di negeri ini masih menghasilkan lebih dari 1 juta
barel minyak per hari. Namun setiap tahun, angka itu terus melorot. Pada 2015,
lifting minyak bumi Indonesia hanya 786 juta barel per hari.
Sejak 2001, konsumsi bahan bakar minyak dan gas Indonesia
sudah melampaui produksi minyak dan gas yang disedot dari dalam bumi. Walhasil,
untuk menutup defisit, Indonesia harus mengimpor bahan bakar.
Sampai Kapan Bertahan?. Sebagian sumur minyak, seperti
lapangan Minas dan Duri, sudah tua. Sumur-sumur minyak Minas sudah dikuras
sejak awal 1950-an, sementara sumur di Duri berproduksi sejak 1975.
Tanpa ada penemuan lapangan migas baru, cadangan minyak
Indonesia hanya akan bertahan 12 tahun. Cadangan gas hanya tinggal kurang dari
38 tahun. Potensi migas Indonesia sebenarnya masih lumayan besar, terutama di
wilayah timur Indonesia dan laut dalam.
Risiko Tinggi Eksplorasi
Yang jadi soal, risiko gagal pada eksplorasi di daerah frontier
dan laut dalam sangat besar. Sepanjang 2009-2013, ada 12 kontraktor kontrak
kerja sama migas yang menanggung rugi Rp 19 triliun dalam eksplorasi migas di
laut dalam.
Perlunya Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil. Untuk melindungi
negara dari paparan risiko itulah dipilih skema kontrak kerja sama bagi hasil
atau production sharing contract (PSC).
Dalam skema kontrak kerja sama bagi hasil, seluruh modal
kerja dan risiko ditanggung oleh kontraktor kontrak kerja sama.
Manfaat bagi Rakyat Walaupun menanggung seluruh risiko,
kontraktor kontrak kerja sama migas bukan pemilik cadangan. Negaralah pemilik
seluruh cadangan migas di negeri ini.
Apabila eksplorasi menemukan cadangan migas yang ekonomis
untuk dikuras, bakal berlanjut ke proses produksi. Pemerintah akan mendapatkan
pajak dan retribusi serta setoran jatah bagi hasil dari produksi migas.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Sari Pan
Pacific hari ini, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengawali pemaparannya
dengan sebuah pertanyaan. Apakah Indonesia adalah negara yang kaya minyak dan
gas bumi?
Arcandra kemudian menjawab bahwa cadangan terbukti
(proven reserve) minyak Indonesia hanya tinggal 3,8 miliar barel. Dengan tingkat
produksi minyak saat ini sekitar 800.000 barel per hari (bph), produksi minyak
Indonesia akan habis 12 tahun lagi.
"Apakah kita negara yang kaya akan migas? Kalau kita
bicara proven reserve kita, menurut data yang kami terima, sekitar 3,8 miliar
barel. Kalau 3,8 miliar barel ini kita produksikan konstan 800 ribu bph maka
dalam 12 tahun kita sudah tidak bisa memproduksi minyak," kata Arcandra di
Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Secara persentase, jumlah cadangan dan produksi migas
Indonesia juga tak seberapa. Tanpa adanya penemuan cadangan-cadangan baru,
Indonesia akan segera kehabisan migas.
"Apakah kita bisa dikategorikan negara kaya? Berapa
kontribusi kita ke produksi dunia? Sangat kecil. Kalau kita tidak bisa
menemukan cadangan-cadangan baru, Reserve Replacement Ratio kita tidak bisa
meningkat, akan sangat mungkin kita tidak bisa produksi lagi," ujarnya.
Untuk menemukan cadangan-cadangan migas baru, maka
kegiatan eksplorasi perlu didorong. Tapi, kegiatan eksplorasi di Indonesia
terus menurun. Bahkan pada saat harga minyak sedang tinggi-tingginya di
2013-2014, jumlah pengeboran eksplorasi di Indonesia anjlok. Tentu, ada masalah
yang menyebabkan investor malas mencari migas di Indonesia.
"Sejak 2012, pintu pertama untuk menaikkan cadangan
adalah dengan eksplorasi. Kalau kita lihat, drilling di 2012 masih sekitar 72
pengeboran eksplorasi. 2013-2015 turun jadi sekitar 12 saja. Pada 2012-2014 itu
saat harga minyak tinggi, sementara eksplorasi kita menurun drastis. Apa yang
terjadi sehingga turun dari 2012 ke 2013-2014?" ucap Arcandra.
Salah satu penyebabnya, kata Arcandra, adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010). Beleid yang mengatur pajak-pajak
dan cost recovery di hulu migas ini membuat perusahaan-perusahaan minyak malas
eksplorasi di Indonesia.
Bisnis migas penuh risiko dan butuh modal besar. Perlu
insentif untuk mendorong perusahaan-perusahaan minyak melakukan eksplorasi.
Tapi bukannya membuat insentif, PP 79/2010 malah menjadi disinsentif.
Perusahaan minyak dibebani pajak sejak masa eksplorasi, tentu mereka sangat
dirugikan.
"Ada sebuah PP yang terkenal, yaitu PP 79, kegiatan
eksplorasi success ratio itu 4-5 kali drilling dapat 1 sudah bagus. Dengan
tingkat seperti itu kita berharap semakin banyak yang melakukan eksplorasi.
Tapi kalau tidak ada insentif, bahkan disinsentif, tidak ada yang mau. Di PP
79, pajak-pajak sudah dikenakan negara saat eksplorasi padahal si KKKS
(Kontraktor Kontrak Kerja Sama) belum tentu mendapat cadangan migas, ini
problem besar," tutur Arcandra.
Itulah sebabnya, revisi PP 79/2010 menjadi prioritas
utama saat Arcandra mulai bertugas di Kementerian ESDM. Iklim investasi hulu
migas Indonesia harus dibuat lebih atraktif, tak boleh kalah dari negara-negara
lain.
"KKKS akan melihat portofolio di mana dia akan
investasi. Di negara lain juga banyak cadangan yang menunggu eksplorasi oil
company. Kalau kita tetap bertahan dengan pajak-pajak saat eksplorasi, mereka
akan mencari negara di mana mereka mendapat kemudahan fiskal dan perpajakan.
Ini tentu harus ada obatnya. Makanya target pertama kita di ESDM adalah
merevisi PP 79," cetusnya.
Revisi atas PP 79/2010 memang tak menjamin produksi migas
nasional bisa dipertahankan di kisaran 800.000 bph atau bahkan dinaikkan. Tapi
setidaknya akan mendorong eksplorasi, ada harapan ditemukannya
cadangan-cadangan baru.
"Key performance indicator di tiap kementerian agak
beda. Kalau Kemenkeu tentu revenue untuk negara. Sementara kalau di ESDM kalau
oil company dipajaki di awal, tidak ada Reserve Replacement Ratio. Kita
diskusi, apa ada jaminan kalau PP 79 dihapus produksi migas naik? No way, nggak
ada jaminan," kata Arcandra
"Sampai saat sekarang belum ada teknologi yang bisa
memastikan kalau kita rencanakan produksi 50.000 bph lalu kita bisa produksi 50.000
bph. Mau itu perusahaan raksasa seperti Exxon, Shell, ketidakpastian itu masih
tinggi. Tapi ada secercah harapan kalau PP 79 kira revisi, semoga KKKS mau
datang dan melakukan eksplorasi, ada probablilitas," lanjut Arcandra.
Selain itu, penggunaan teknologi-teknologi baru yang
lebih mutakhir di industri hulu migas nasional diharapkan bisa menggenjot
produksi.
"Kalau dengan tekno sekarang, maksimum kita hanya
bisa mengambil 40-50% minyak yang ada dibawah. Selama kita belum punya
teknologi baru atau belum ada, baru kita tidak bisa produksi minyak 12 tahun
lagi," tutupnya.
PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya BUMN
perminyakan Indonesia, punya tanggung jawab besar dalam menjaga ketahanan
energi nasional. Untuk menjalankan tugasnya itu, berbagai proyek harus
dikerjakan Pertamina, mulai dari produksi migas di hulu hingga pembangunan
kilang minyak di hilir.
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengungkapkan
pihaknya sampai 2025 membutuhkan biaya US$ 70 miliar atau setara Rp 910 triliun
untuk investasi di hulu migas. Kemudian US$ 15 miliar untuk pembangunan
infrastruktur migas, dan US$ 40 miliar untuk proyek-proyek kilang minyak.
Investasi-investasi itu dibutuhkan agar produksi minyak
dan gas bumi pada 2025 mencapai target 1,9 juta barel setara minyak per hari
(barel oil equivalent per day/boepd), dan produksi bahan bakar minyak (BBM) di
dalam negeri di atas 2 juta barel per hari (bph).
"Di upstream (hulu) kami butuh dana investasi US$ 70
miliar sampai 2025, infrastruktur migas US$ 15 miliar, kilang US$ 40 miliar.
Target kami 2025 harus bisa mandiri di energi. Kilang dari kapasitas sekarang
800 ribu bph ditingkatkan jadi 2 juta bph, lalu produksi di upstream dari 600
ribuan boepd ke 1,9 juta boepd," kata Dwi, dalam Forum BUMN 2016 di Hotel
Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (3/11/2016).
Lewat peningkatan kapasitas kilang minyak itu, impor BBM
yang sekarang mencapai 50% dari total kebutuhan bisa ditekan hingga 0% pada
2023. "Kapasitas kilang hanya 800 ribu bph, 50% produk diimpor, besar
sekali, itu menghabiskan devisa US$ 80 juta per hari. Sudah 25 tahun lebih
Pertamina tidak bangun kilang baru," ucap Dwi.
Dwi juga ingin Pertamina bisa menjadi tuan di negeri
sendiri. Sekarang Pertamina hanya menguasai 24% dari produksi migas nasional.
Diharapkan Pertamina bisa dominan dalam produksi migas nasional, seperti
Petronas di Malaysia. "Pertamina hanya pegang 24% produksi nasional, tidak
seperti Petronas. Padahal Petronas dulu belajar dari Pertamina,"
ungkapnya.
Dari mana Pertamina bisa mendapatkan modal ribuan triliun
rupiah itu untuk investasi di hulu hingga hilir?
Dalam Rapat Kerja Nasional Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia Bidang Energi dan Migas baru-baru ini, Wakil Menteri ESDM
Arcandra Tahar menyatakan keinginannya agar revisi UU Migas dapat memperkuat
Pertamina.
Caranya dengan mengalihkan cadangan migas nasional yang
saat ini dikuasakan kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ke Pertamina.
Cadangan migas nasional akan dijadikan leverage alias aset
yang dapat digunakan Pertamina untuk mencari pinjaman.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja,
menyatakan beberapa negara telah melakukan cara tersebut untuk membesarkan BUMN
perminyakannya (National Oil Company/NOC). Misalnya di Malaysia, Petronas punya
modal yang kuat dan kemampuan investasi yang besar berkat penguasaan cadangan
migas nasional.
"Beberapa negara menggunakan aset migasnya sebagai
leverage untuk NOC-nya. Itu yang membuat NOC cepat besar kalau dikelola dengan
baik. Contohnya Malaysia, aset migas Malaysia untuk leverage Petronas jadi
cepat sekali berkembang," kata Wirat.
Kalau Indonesia melakukan hal yang sama, bukan tidak
mungkin Pertamina bisa menyaingi Petronas, asalkan modal yang diperoleh dengan
menjaminkan cadangan migas nasional dikelola dengan baik.
"Aset hulu kita kan besar sekali. Kalau bisa jadi
leverage, misalkan diserahkan ke Pertamina, Pertamina bisa menggunakan sebagai
leverage untuk meminjam dana bangun kilang dan sebagainya," tutupnya
0 komentar:
Post a Comment