Akhirnya sampai juga ke Malinau, ibukota provinsi Kalimantan Utara dengan nama juga Malinau. Kabupaten ini sedang merayakan ulang tahun ke-19 yang ditenggarai oleh Irau, suatu ritual atau upacara adat yang dilakukan masyarakat Dayak secara bersama-sama. Selain budaya, IRAU sekaligus membuat event promosi seni, pariwisata dan ekonomi kreatif daerah, dilaksanakan 2 tahun sekali.
Perjalanan itu mulai dengan pukul 02.30 pagi keluar dari rumah. Diantar suami ke bandara Soekarno Hatta. Pesawat take off pukul 05.00 dan pukul setengah 08.00 Waktu Indonesia Tengah mendarat di Bandara Juwata Tarakan. Dari Tarakan disambung naik pesawat Xpressair sekitar 15 menit.
Ini pengalaman pertama saya naik pesawat berkapasitas tempat duduk 47 orang ini. Bangku 2-2 dengan space cukup lapang bagi lutut. Terbang rendah yang memungkinkan kita melihat lansekap Kalimantan Utara yang dibelah oleh sungai-sungai, rawa, hutan dan perkebunan. Sebuah panorama ajaib, seolah saya melintasi Kalimantan Uara dengan drone.
Dari airport Malinau kami langsung diangkut menuju lapangan Pelangi Intimung, tempat diselenggarakannya Pesta Rakyat Malinau ini. Alun-alun itu terletak persis di depan kantor Bupati Malinau. Di tepinya berdiri tenda-tenda yang diisi oleh berbagai sektor usaha, dari perusahaan besar sampai UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) Dari dinas dinas tingkat Kecamatan sampai perorangan yang membawa aneka berbagai contoh peralatan budaya untuk sekedar dipamerkan maupun dijual.
Yang paling menarik bagi saya adalah kesempatan menyaksikan langsung aktivitas adat istiadat yang jadi roh perhelatan ini. Kita dibawa langsung ke jantung cara hidup tidak kurang dari 13 suku Dayak mendiami Kabupaten Malinau.
Ngomong-ngomong tentang kebudayaan manusia itu terbagi dua. Kebudayaan material dan kebudayaan non material. Kebudayaan material bersifat konkret dan dapat dirasakan fisik nya. Sementara kebudayaan non material bersifat abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam Irau Malinau 2018 kita bisa menyaksikan keduanya. Kebudayaan material lewat alat-alat etnografi dan herbal yang ditampilkan dalam stand-stand milik suku-suku. Sementara Kebudayaan non material dilihat dari berbagai upacara adat diadakan dua kali dalam sehari.
Produk kreatif dari 13 suku Dayak
Teman-teman penyuka hiasan etnis dimanjakan dalam gebyar pesta rakyat Malinau ini. Produk kreatif berbasis 13 suku Dayak yang hidup di Malinau terlihat dalam kios-kios yang menjual aneka souvenir. Mulai dari hiasan kepala sampai kaki. Dari manik-manik sampai bulu burung enggang. Aneka desain kreatif bernafas tradisi. Semuanya indah dengan harga bervariasi, dari mahal sampai yang terjangkau.
Peralatan Etnografi Suku Dayak
Kemarin sore saya menjumpai dan mempelajari banyak sekali alat etnografi dari 13 suku yang ikut memeriahkan acara ini. Ada benang merah persamaan diantara alat-alat tersebut sekali pun dan sedikit perbedaan. Misalnya gentong atau tempayan untuk membuat arak yang disebut Pengasi. Ukuran badannya hampir sama tapi desain luarnya berbeda. Ada yang memberi lukisan hewan atau manusia sementara suku lain menghias tempayan mereka dengan tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Tidak ada aturan baku suku apa menggunakan hiasan apa. Menurut ketua adat yang saya temui semua tergantung kreativitas pembuatnya.
Obat Tradisional Suku Dayak
Indonesia dan suku-suku etnis hampir sebagian besar mempunyai tradisi penyembuhan sendiri. Obat-obatan diolah secara tradisional melalui racikan yang diperoleh dari nenek moyang. Kemudian dilembagakan lewat adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat. Pengobatan tersebut bersifat magic maupun pengetahuan tradisional.
Suku Dayak juga memiliki sistem penyembuhan lewat herbal lengkap dengan pengetahuan magicnya. Dua yang saya temui kemarin agar bening untuk memecah batu ginjal. Pada lagi ke bentuk batang kayu bergaris-garis yang digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan orang mabuk.
Semakin penasaran bukan dengan provinsi baru di pulau Kalimantan ini. Jangan lupa siapin waktu untuk menikmati Pesona Indonesia.